Jumat, 20 Mei 2016

Hakikat Matematika



HAKIKAT MATEMATIKA
A.    Pengertian Matematika
Matematika merupakan ilmu yang dapat membantu bagi ilmu-ilmu yang lain, baik dari segi pengembangan ilmu yang bersangkutan, maupun dalam terapannya pada aspek kehidupan sehari-hari. Aktifitas keseharian manusia tidak akan terlepas dari terapan matematika, meskipun dalam bentuk yang sederhana, seperti penggunaan operasi hitung dan logika. Oleh karena itu, idealnya setiap kita mengerti tentang matematika minimal terapannya. Apalagi bagi guru maupun calon guru matematika, adalah penting untuk mengerti apa itu matematika, dan bagaimana karakteristik pelajaran, matematika serta aplikasinya dalam pemecahan masalah kehidupan manusia. Bahkan apabila memungkinkan  guru atau calon guru matematika perlu mengikuti perkembangan matematika dari kurun waktu ke waktu.
Sebagian orang menghubungkan matematika dengan bilangan, atau ada pula yang mengartikan matematika sebagai ilmu hitung-menghitung yang penuh dengan hafalan rumus. Hal ini tidaklah mengherankan, karena memang baru itu yang mereka kenal. Padahal matematika memiliki cakupan yang lebih luas dari sekedar permainan bilangan dan hitung menghitung atau aritmatika belaka. Aritmatika hanyalah merupakan bagian kecil dari matematika sebagaimana geometri, aljabar, trigonometri, dan analisis. Matematika juga bukan hanya sekedar menghafal rumus, tetapi juga menyangkut bagaimana rumus itu diformulasikan, untuk kemudian diterapkan. Meskipun luas cakupannya, namun demikian bukan berarti matematika tak dapat didefinisikan. Lalau apa itu matematika?.
Dari sudut pandang yang berbeda, beberapa ahli memberikan batasan tentang matematika, sebagaimana disajikan berikut ini.
1.   Johnson dan Myklebust ( Mulyono Abdurrahman, 2003: 252 ), mendefinisikan bahwa matematika adalah bahasa simbol yang berfungsi untuk mengeskpresikan hubungan kuantitatif dan keruangan, serta untuk memudahkan berpikir.
2.   Lerner mengemukakan, matematika disamping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen, dan kuantitas.
3.   Menurut Paling, matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, dengan menggunakan informasi, pengetahuan tentang bentuk dan aturan, dan pengetahuan tentang menghitung.
4.   Kline, mengatakan bahwa matematika merupakan bahasa simbolis, dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif. Matematika bukan pengetahuan yang berdiri sendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi keberadaannya untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.
5.  James dan James (Karso, 1994: 2) mengemukakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu sama lain dengan jumlah yang banyak.
6.   Herman Hudoyo (1988: 3), melihat matematika dari strukturnya. Ia memberi batasan bahwa matematika adalah ide atau konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dengan penalarannya yang deduktif.
7.   Johnson dan Rising menyatakan bahwa matematika adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logik. Matematika merupakan bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya diwujudkan dalam bentuk simbol yang padat. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur yang terorganisasikan, sifat-sifat atau teori-teori yang telah dibuktikan kebenarannya, dianut secara deduktif berdasarkan pada unsur-unsur yang didefinisikan, atau tidak didefinisikan, dan aksioma-aksioma. Matematika adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada keterurutannya, dan keharmonisannya.
8.   Batasan yang lain tentang matematika adalah ilmu tentang struktur yang logis, ilmu tentang pola dan hubungan, ilmu deduktif, serta matematika juga dipandang sebagai bahasa dan seni.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas dapat diindikasikan bahwa pandangan tentang matematika dapat diidentifikasikan dari berbagai hal antara lain : 1) dari fungsinya, sebagaimana dikemukakan oleh Johnson & Myklebust, Lerner, dan Paling. 2) dari metodenya, seperti dipaparkan oleh Kline. 3) dari struktur dan isinya, sebagaimana dikemukakan oleh James & James, Herman Hudoyo. Atau dari gabungan ketiganya, seperti pendapat Johnson & Rising. Hal ini tergantung pada pengalaman dan pengetahuan dari masing-masing para ahli, sehingga pengertian tentang matematika menjadi lebih luas dan beragam. Beragamnya definisi matematika tersebut menunjukkan bahwa belum adanya pengertian matematika yang tunggal.
B.   Aliran Dalam Matematika.
                        Belum adanya kesepakatan tentang pengertian matematika secara utuh, tentu bukan berarti bahwa telah terjadi kebuntuan dalam melihat matematika sebagai sebuah ilmu. Para ahli terus mencari pendekatan dan strategi untuk memformulasikan pandangan tentang matematika yang representatif, sehingga dapat bermanfaat secara optimal bagi kehidupan manusia. Aneka ragam pandangan tentang metematika, justru akan menambah kemungkinan optimalisasi peran matematika dalam berbagai disiplin ilmu, dan pengembangannya.
Pada akhir abad ke 20, para ahli mencoba melakukan pendekatan dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi tinjauan matematika. Munculah beberapa aliran besar dalam merumuskan tentang apa dan bagaimana matematika, yaitu antara lain Aliran Logikisma, Aliran Intuisionisma, dan Aliran Formalisma ( Herman Hudoyo, 1988: 84 ).
1.    Aliran Logikisma.
Aliran ini menyatakan bahwa matematika itu merupakan cabang dari logika. Ide dan gagasan dalam matematika merupakan turunan dari logika melalui perumusan yang jelas dan tepat, serta dengan menggunakan penalaran deduktif semata. Hal ini berarti bahwa matematika dapat dikembalikan kepada logika, sehingga matematika itu adalah memang sebuah logika. Logika adalah ilmu tentang ide-ide atau gagasan dan bagaimana ide atau gagasan tersebut digunakan dalam sebuah argumen. Logika lebih memperhatikan bentuk dari suatu argumen dari pada keakuratan faktanya. Ide awal atau gagasan dirangkaikan dengan kata penghubung seperti ” jika ... maka ..., ” dan ”, ”atau”, serta ”tidak benar bahwa ...”, dan yang lainnya. Untaian pernyataan dengan kata penghubung itulah yang membawa kita pada suatu kesimpulan atau konklusi. Dalam hal ini matematika dipandang sebagai kumpulan dari pernyataan logika, yang menjelaskan hubungan antara kalimat-kalimat yang isinya telah diabstraksikan, sedemikian hingga bentuknya dapat disajikan dalam bahasa simbol. Salah satu tokoh yang telah mempelopori aliran ini adalah Bertrand Russel, seorang ahli logika  dari Inggris ( 1872 – 1971 ). Paradok Russel, adalah salah satu karyanya, yang sangat dikenal sebagai sebuah paradok yang bercerita tentang seorang tukang cukur.
Menurut aliran ini, logika adalah tulang punggung matematika. Kebenaran matematisi diukur berdasarkan kelogisan dari rangkaian pernyataan-pernyataan penyusunnya. Sementara dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pemahaman fenomena ritualitas misalnya, terdapat pernyataan yang tidak dapat dijangkau oleh ranah logika semata. Oleh karena itu, hadirnya aksioma dalam matematika akan menambah kelengkapan perangkat bagi proses pemahaman dan pengetahuan, serta untuk pemecahan masalah dalam kehidupan manusia secara utuh.
2.    Aliran Intuisionisma.
Para ahli matematika yang tergabung dalam aliran ini memandang bahwa matematika merupakan hasil dari olah pikir manusia belaka, yang tidak bergantung pada pengalaman dan tidak pula bersifat subjektif. Penggunaan bahasa simbol hanyalah untuk membantu menyampaikan gagasan pikiran tersebut, agar orang lain dapat mengikuti alur yang terkandung dalam olah pikir logika matematikanya. Logika yang dianut oleh aliran ini mensyaratkan bahwa setiap penjelasan harus dapat dibuktikan secara deduktif, dengan didukung oleh sesuatu susunan tertentu, sesuai hasil olah pikir terhadap fenomena yang terjadi. Tokoh yang mempelopori aliran ini adalah L. E. J. Brouwer ( 1881 – 1960 ), seorang matematikawan dari Belanda.
3.    Aliran Formalisma.
Pengikut aliran ini berpendapat bahwa matematika merupakan ilmu tentang struktur formal dari langkah pengoperasian simbol-simbol yang kosong arti. Simbol-simbol tersebut dapat mewakili semua kajian yang bersifat secara umum dalam matematika. Logika yang digunakan juga merupakan logika formal yang mengacu pada struktur yang berlaku, dengan pengambilan kesimpulan berdasarkan metode deduktif argumentatif, tanpa menghiraukan makna dari pernyataan-pernyataannya. Contoh, jika 3 bersaudara dengan 4, dan 4 bersaudara dengan 5, maka kesimpulannya adalah bahwa 3 bersaudara dengan 5. Logika formal membenarkan hal tersebut, meskipun makna masing-masing pernyataannya tidaklah lazim digunakan. Aliran ini dipelopori oleh tokoh  matematikawan dari Jerman, yakni David Hilbert ( 1862 – 1942 ).
Menurut aliran ini, kebenaran dalam matematika harus dapat berlaku secara universal. Karena kesimpulan yang diperolehnya memang diturunkan dari unsur-unsur yang bersifat umum. Dengan demikian, pembuktian kebenarannyapun tidak dapat diambil berdasarkan contoh-contoh yang hanya merupakan wakil secara khusus.
Meskipun sudah mengerucut dalam tiga aliran sebagaimana telah diuraikan, namun hingga sekarang masih belum ada definisi matematika yang dapat disepakati oleh semua pakar matematika. Secara teoretis penulis berpendapat bahwa matematika adalah suatu sistem yang konsisten dalam bangunan keilmuan, yang tersusun secara hirarkis dari ide abstrak dengan menggunakan penalaran deduktif, sehingga membentuk struktur tertentu. Batasan tersebut tentu belum mencakup keseluruhan aspek kajian secara utuh yang terdapat dalam matematika. Belum lagi apabila ditelusur dari fungsi dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam disiplin ilmu yang lain, tentu akan menjadi lebih beragam lagi batasan tentang matematika. Namun demikian setidaknya ada sebuah kerangka dengan pilar-pilarnya sebagai sesuatu yang dapat dijadikan ciri atau petunjuk untuk mengenalinya. Oleh karena itu perlu ada pendekatan lain untuk mengenal matematika lebih jauh. Salah satu pendekatan tersebut adalah dengan melakukan identifikasi terhadap karakteristiknya, yang secara umum dapat dijadikan sebagai salah satu ciri dalam mengenali matematika secara lebih komprehensif.
C.  Karakteristik Matematika.
R. Soedjadi, (2000: 13) mengemukakan bahwa ada beberapa karakteristik yang terdapat dalam pelajaran matematika, antara lain sebagai berikut:
1. Objek Kajian yang Abstrak.
Objek dasar yang dipelajari dalam matematika adalah sesuatu yang abstrak, atau sering disebut objek pikiran atau objek mental. Objek dasar yang merupakan objek pikiran tersebut tersebut meliputi fakta, konsep, prinsip, dan skill. Uraian tentang objek tersebut akan disajikan secara tersendiri pada pembahasan berikutnya dalam bab yang lain. Dari objek dasar tersebut kemudian dapat disusun pola dan struktur matematika, yang merupakan landasan bagi kaidah pengembangan selanjutnya.
2. Berdasarkan Kesepakatan.
Karena keabstrakan dari objeknya tersebut, maka perlu adanya kesepakatan. Kesepakatan-kesepakatan itu kemudian dituangkan antara lain dalam bentuk :
a. Konsep primitif, atau sering disebut pengertian pangkal atau unsur yang tidak didefinisikan ( undefined term ). Contoh pengertian pangkal adalah titik, garis, bidang, sudut, dan lainnya. Unsur-unsur tersebut merupakan ide dasar atau gagasan yang tidak memerlukan pendefinisian. Dari konsep primitif ini kemudian dapat diturunkan menjadi konsep-konsep yang didefinisikan. Misalkan definisi segitiga, Kubus, fungsi, dan seterusnya.
b.  Aksioma, atau sering disebut pernyataan pangkal, merupakan suatu pernyataan yang tidak membutuhkan adanya pembuktian. Contohnya, dua garis yang sejajar tidak akan pernah betemu pada suatu titik. Beberapa aksioma dapat membentuk sistem aksioma, yang kemudian dapat diturunkan menjadi teorema-teorema.
c. Suatu aksioma dapat terbentuk dari konsep primitif. Disamping itu suatu teorema juga dapat terbentuk dari konsep-konsep yang didefinisikan. Jadi ada hubungan antara konsep primitif dan konsep yang didefinisikan dalam membangun struktur matematika, berdasarkan kesepakatan tertentu. Paparan lebih lanjut akan dibicarakan pada bahasan tentang struktur matematika.
3. Menggunakan Simbol.
Keabstrakan objek dasar matematika, juga menuntut digunakannya simbol-simbol dalam mengekspresikannya, baik berupa huruf ( abjad, Yunani, Romawi ), gambar, dan atau rangkaian dari keduanya, serta tabel. Demikian pula tanda atau simbol-smbol yang lain seperti, persen, permil, derajat, negasi, tak berhingga, sama dengan, lebih besar, lambang operasi, dan seterusnya. Makna dari simbol-simbol itu, tergantung dari semestanya. Misalnya simbol a + b = c, adalah sesuatu yang tak bermakna ketika belum ada semestanya. Jika semestanya bilangan bulat, maka itu berarti menunjukkan adanya sifat  ketertutupan pada bilangan bulat. Namun bila semestanya vektor, berarti vektor c merupakan resultan dari vektor a dan vektor b. Fleksibelitas makna dari simbol-simbol tersebut justru memungkinkan aplikasi matematika menjadi lebih luas pada berbagai ilmu pengetahuan yang lain, yang penyajiannya sering dituangkan dalam bentuk model matematika. Dengan demikian secara fungsional matematika dapat menjadi alat bantu bagi berkembangnya ilmu yang lain, sekaligus merupakan dinamisator bagi berkembangnya matematika itu sendiri. Namun demikian di sisi yang lain, penggunaan simbol dapat menimbulkan berbagai tafsiran. Multi tafsir dari adanya simbol-simbol matematis tersebut, juga dapat menimbulkan masalah tersendiri bagi yang mempelajarinya, yakni munculnya berbagai kasus kesulitan belajar matematika.
4. Pola Pikir Deduktif.
Pola pikir deduktif berpangkal dari ketentuan yang bersifat umum, untuk diterapkan atau diarahkan pada ketentuan atau hal yang bersifat khusus. Misalnya ada teorema yang menyatakan bahwa jumlah dua bilangan ganjil adalah bilangan genap. Hal ini harus dapat dibuktikan secara umum. Caranya adalah dengan mengambil sembarang dua bilangan ganjil tersebut, misalnya x dan y, maka dua bilangan tersebut dapat dinyatakan dengan x = 2n + 1, dan y = 2m + 1, sehingga x + y = (2n + 1) + (2m + 1) = 2n + 2m + 2 = 2 (n + m + 1) = 2k, untuk setiap n, m dan k bilangan asli. Dan dapat dimengerti bahwa 2k adalah bilangan genap. Dengan demikian adalah benar bahwa jumlah dua buah bilangan ganjil merupakan bilangan genap. Namun demikian pada matematika di sekolah, kadang dijumpai pula bentuk pola pikir yang bersifat induktif. Dalam hal ini, untuk teorema di atas sering dijelaskan dengan mengambil contoh-contoh penjumlahan dua bilangan ganjil yang ternyata memang meghasilkan bilangan genap. Contoh seperti : 1 + 3 = 4, dan 5 + 7 = 12, serta 13 + 15 = 28 dan seterusnya. Dari contoh-contoh tersebut kemudian disimpulkan bahwa jumlah dua buah bilangan ganjil adalah sebuah bilangan genap. Pembuktian dengan contoh ( induktif ) semacam ini tidak berlaku dalam tataran pola pikir matematika. Pola pikir induktif ini sebenarnya hanya dilakukan sekedar untuk menyesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis dan mental anak yang belum dapat menerima pola pikir yang deduktif. Atau bagi seseorang yang belum memiliki landasan teorema tentang hal tersebut.
5.  Konsisten  dalam   Sistemnya.
Terdapat berbagai sistem dalam matematika, dan masing-masing sistem itu terdiri atas sub-sub sistem yang satu sama lain saling terkait. Misalnya pada sistem aljabar, ada sistem aksioma dari grup, sistem aksioma dari ring, sistem aksioma dari field. Sistem bilangan, sistem keruangan, sistem pengukuran, dan lain-lain. Kemudian pada masing-masing sistem aksioma tersebut mestinya tidak akan ada kontradiksi atau bertentangan antara aksioma yang satu dengan aksioma yang lain. Sebab apabila ada kontradiksi antara dua aksioma saja, itu berarti sudah tidak memenuhi lagi syarat konsistensi dalam sistem aksioma tersebut.
D.  Perkembangan Matematika
Dalam pandangan tradisional, matematika hanya dianggap sebagai ilmu tentang kuantitas ( the science of quantity ), sehingga terkesan hanya terbatas pada masalah hitungan ( aritmatika ) belaka, yang melibatkan manipulasi bilangan dengan berbagai operasi yang ada. Matematika juga sering diartikan sebagi ilmu tentang ukuran yang bersifat diskrit. Tidak jarang pula orang atau sekelompok orang yang mencoba mempersempit jangkauan matematika hanya sebatas sebagai ilmu tentang keruangan ( geometri ).
Aritmatika yang pada proses perhitungan sering menggunakan bilangan, dalam perkembangan berikutnya, penggunaan bilangan tersebut dapat diganti dengan abjad, seperti a, b, c, dan seterusnya, yang kemudian dikenal dengan aljabar. Ternyata pada aljabar pun juga tidak hanya sebatas menggunakan huruf abjad sebagai sesuatu yang diketahui maupun yang  tidak diketahui ( kita kenal sebagai variabel ), tetapi juga menggunakan lambang-lambang lain, seperti titik-titik, lebih besar, atau lebih kecil atau sama dengan. Misalnya, 2 + x = 5, dengan x sebagai variabel, dan kemudian pernyataan tersebut dapat diganti menjadi, 2 + ... = 5. Ternyata tidak berhenti sampai di situ, pernyataan lain yang setara dengan itu juga dapat dinyatakan dengan penggunaan lambang lain seperti, 4 +   ≥ 7. Jadi matematika akan terus berkembang baik strukturnya, maupun isinya.
Catatan yang kurang menyenangkan dari perkembangan matematika, terjadi hingga sekitar tahun tujuh puluhan, yakni ketika matematika masih diistilahkan dengan sebutan ilmu pasti. Dari sebutan tersebut, terkesan bahwa apa yang dipelajari dalam matematika adalah sesuatu yang sudah pasti adanya, atau sudah pasti kebenarannya, ketepatannya, dan kepastian-kepastian yang lain. Seolah matematika menjadi hakim yang akan menentukan antara benar dan salah dari suatu permasalahan. Padahal pada kegiatan pengukuran misalnya, ada peluang akan terjadinya kesalahan di sekitar ukuran yang pasti. Hal ini dikenal dengan istilah toleransi.
Pandangan bahwa matematika sebagai ilmu pasti, secara keilmuan juga akan dapat menghambat bagi perkembangan matematika itu sendiri, maupun bagi ilmu pengetahuan pada umumnya. Karena ketika bersinggungan dengan teori aproksimasi, maka angka kepastiannya menjadi tidak tunggal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matematika bukan lagi sebagai alat untuk menyelesaikan masalah. Di sisi yang lain, matematika justru berkembang salah satunya didukung oleh adanya teori aproksimasi tersebut. Disamping itu, pandangan bahwa matematika merupakan ilmu pasti, secara psikologis juga akan dapat merugikan bagi para siswa. Mereka sudah merasa terbebani dengan berbagai ilusi negatif tentang ”pasti”nya matematika, sebelum mereka belajar. Maka muncullah persaan takut, dan cemas, yang berakhir pada perilaku untuk menghindarkan diri dengan matematika. Kondisi ini juga akan berimbas  khususnya pada para pendidik dan calon pendidik matematika, ketika akan menyampaikan materi pelajaran matematika kepada peserta didik. Dan dampak tersebut masih sangat dirasakan hingga sekarang. Ditengarai masih banyak orang tua atau siswa yang beranggapan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sangat membosankan, dan paling sulit untuk dipelajari, karena materinya hanya berkisar pada simbol x dan y. Dan masih ada sederet predikat lain yang menggambarkan tidak enaknya matematika untuk dipelajari. Belum lagi ketika dikaitkan dengan guru yang mengajarkannya. Yang galak, tidak pernah senyum, wajahnya penuh rumus, dan sebagainya.
Hingga sekarang ini matematika telah berkembang bukan saja dari segi strukturnya, melainkan juga dari segi analisanya. Bagian dari matematika seperti Aljabar, geometri, Aritmatika, serta analisis, masing-masing bagian tersebut masih akan terus berkembang lagi dengan berbagai cabangnya seperti ilmu komputer, statistika, teori bilangan, trigonometri dan lain-lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar